Jumat, 26 Maret 2010

bumi cinta

Dee udah tuntas baca BUMI CINTA-nya Kang Abik. Novel yang mengambil setting di ibu kota Rusia, yaitu Moskwa. Tesengat banget baca novel itu. Jarang-jarang ada novel islami sejenis gitu yang ambil cover bangunan. Biasanya kan Cuma gambar muka cewek berbalut jilbab atau tertutup sama cadar. Nggak ada kesan kreatifnya batah. Covernya putih. Suasana musim salju yang memang jadi sebagian besar setting dalam novel ini. Tapi kok, font buat judul novel ukurannya lebih kecil dari ukuran font pengarangnya. Jadi seakan lebih membesarkan nama pengarang dari pada novelnya. Ah, nggak penting.
Balik lagi, yang bikin novel ini lebih WAH dari pada novel Kang Abik sebelumnya adalah peletakkan setting yang begitu berani. Moskwa yang ‘katanya’ menjadi kota paling bebas dan jaringan situs porno nomor satu di dunia it digambarkan dengan gamblang, apik, dan terkesan tidak mengada-ngada. Dee nggak tahu apakah Kang Abik pernah ke sana apa nggak. Yang jelas, jadi menambah referensi kota yang pengen Dee kunjungin sebelum mati. Yaitu ke Red Square di Moskwa.
Inti ceritanya adalah perjuangan seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mencari sumber tesis magisternya di India di sebuah kota yang penduduknya mayoritas liberal dan bahkan mengucilkan islam dalam menahan segala godaan yang menggoyah iman. Seperti godaan wanita dan ajaran di sana yang tergolong sangat bebeas. Namanya Ayyas. Ia dihadapkan oleh cobaan saat pertama kali ia tinggal di Rusia. Yaitu harus tinggal seatap seapartemen dengan dua orang wanita Rusia. Yelena yang mengaku sebagai agen wisata hyang ternyata adalah seorang pelacur papan atas, juga Linor yang dingin yang Ayyas tahu adalah seorang jurnalis ternyata adalah seorang sindikat Zionis. Ia juga dihadapkan oleh pesona seorang doktor Anastasia yang penganut Kristus taat. Bab yang paling bikin hati berdesir adalah (so pasti) bab terakhir. Saat.... ah, baca sendiri deh!
Yang bikin Dee pegel baca novel ini adalah dialog yang terlalu banyak dan monoton. Kayak baca buku sejarah. Tapi memang dari sini karatreristik tulisan Kang Abik. Jadi inget komen ayah pas baca cerpen terakhir Dee.
“Kebanyakan dialog. Emang kamu mau bikin naskah drama?”